Reformasi Dan Keberanian
Keberanian akan muncul dalam setiap hati anak-anak Tuhan, jikalau mereka sungguh-sungguh hidup dalam pergumulan. Di dalam Kitab Kisah Para Rasul(KPR), ketika Rasul Paulus ditangkap, Ia diancam, jika berani lagi memberitakan injil akan dijebloskan ke dalam penjara. Apalagi sebelumnya sudah ada gambaran kisah bagaimana Yesus, Guru dan Tuhan mereka itu pernah mengalami kesakitan yang luar biasa. Alih-alih ini membuat Rasul gentar, di dalam KPR pasal 4, dalam doanya Rasul justru berdoa,“Dan sekarang, ya Tuhan, lihatlah bagaimana mereka mengancam kami dan berikanlah kepada hamba-hamba-Mu keberanian untuk memberitakan firman-Mu“(KPR 4: 29). Para Rasul diancam, tapi mereka justru meminta keberanian untuk memberitakan Firman Tuhan. Apakah mereka gila? Maaf, jawabannya tidak. Hal itu karena mereka cukup mengerti dengan tugas dan panggilan hidup sebagai orang Kristen.
Kita hidup sebagai orang kristen bukan untuk menumpuk harta, gonta-ganti mobil, naik jabatan, mengejar gelar dan seterusnya. Kita sekolah lebih tinggi lagi seharusnya untuk dapat melayani Tuhan lebih baik lagi. Begitu juga jika kita ganti mobil, seharusnya dapat menjadi sarana dalam mengerjakan pelayanan yang lebih baik lagi. Karena itu, segala sesuatu yang ada haruslah digunakan untuk mendukung pelayanan. Dengan begitu pelayanan menjadi yang paling penting dan paling inti dari segala yang ada.
Kalau kita membangun Gereja, itu juga demi motif agar bisa menampung orang lebih banyak lagi. Bukan sekadar menampilkan kemegahan atau kemewahan yang akhirnya bermuara pada kecemburuan bagi lingkungan, terutama orang-orang kecil yang tak berpunya. Dalam hal ini Gereja dan keberanian dalam semangat reformasi haruslah ditilik ulang. Ternyata kita sebagai orang Kristen tidak lagi memiliki semangat seperti ini. Lihat saja ketika belum ada ancaman, tapi hanya suasana yang mencekam, padahal ancaman yang sesungguhnya itu belum resmi datang, orang justru buru-buru melarikan diri. Ada begitu banyak jam-jam kebaktian ditiadakan, jam persekutuan doa dihapuskan, kegiatan-kegiatan gereja ditutup demi alasan keamanan, kenyamanan dan ketenangan, atau justru demi demi alasan bijaksana. Apakah benar ini “bijaksana” atau justru sebaliknya ini adalah “bijaksitu“. “Ini kan bijak-situ, bukan bijak-sana“ Ini kan bijaknya manusia, bukan bijaknya Tuhan“.
Takut Atau Cerdik
Kalau sudah begini apakah Anda akan mengatakan bahwa Para Rasul adalah orang bodoh, karena di tengah-tengah ancaman, mereka justru minta keberanian – sementara kita tidak jelas – hanya situasi yang mencekam, tapi buru-buru meniadakan persekutuan, meniadakan kebaktian. Jangan bicara tentang cerdik dan tulus. Jangan bicara tentang situasi politik. Betul, situasi memang menakutkan, tapi bukankah Tuhan yang kita percaya itu tidak akan tinggal diam? Iman itu yang akan memberi keberanian pada kita, orang percaya. Yang penting adalah bagian kita telah dijalani dan Tuhan akan mencukupkan apa yang menjadi kebutuhan kita.
Karena itu umat harus jujur, kita ini meniadakan, jam doa, meniadakan ini dan itu, karena takut atau karena cerdik. Kita perlu jujur, kalau betul takut hendaknya mengakuinya, itu lebih fair, jujur, dan terhormat. Jangan sampai perasaan hati pun dikolusi. Jika tindakan sudah salah,lalu alasannya pun dipalsukan, maka makin salah lagi. Ini sangat mengerikan. Ini pola pikir jaman ini di mana Safety menjadi pemikiran pertama yang sangat luar biasa, Selanjutnya Security menjadi tingkat ke dua kebutuhan manusia, itu kata Abraham Maslow. Paling basic adalah soal fisik, sandang, pangan, papan, rasa nyaman, aman, dan ketenangan. Jika dilihat, Kita rupa-rupanya masih ada di tahap-tahap basic, Kekristenan kita masih ada level itu. Maslow saja pun bisa membaca apa yang kita alami.
Akhirnya, melalui teori Maslow, kita ditelanjangi, Kekristenan kita masih picik, melulu hanya soal perut, bagaimana berdoa untuk dapat makan dan dapat kecukupan. Soal sandang, papan, dan bagaimana berdoa untuk dapat kebutuhan ini, dan itu. Bagaimana berdoa sembuh dari penyakit ini dan penyakit itu. Tetapi kita tidak pernah memikirkan lebih lanjut terkait penyakit melayani Tuhan dan miskinnya kesetiaan melayani Tuhan. Berbandaing terbalik dengan apa yang dilakukan para Rasul yang dalam kesengsaran, tetap berteriak kepada Tuhan. Di dalam ketakutan, tetap berdoa dan meminta keberanian untuk memberitakan Injil. Bukan malah meliburkan diri. Pemerintah ini masih mengijinkan kita beribadah, tetapi kita rupa-rupanya yang membuat sendiri perhentian untuk tidak ibadah.
Reformasi Yang Teraktualisasi
Reformasi sejati perlu dikerjakan dalam hidup kita, dalam kaitan dengan kepakaan hati kita terhadap lingkungan di sekitar. Bagaimana unsur keadilan yang menjadi berita Allah itu kita kerjakan. Kita harus berani mengubah sikap hidup kita. Kita perlu berani merubah arah perjalanan hidup kita. Jangan hanya menjadi orang yang bisa berteriak-teriak di atas mimbar gereja tentang keadilan, padahal di gereja sendiri tidak ada keadilan. Seluruh sistem pincang, semuanya memperlakukan dengan penuh ketidak adilan.
Saat ini Politis dan Gereja juga hampir sulit dibedakan. Politis merekayasa sesuatu, politisi membuat ini dan itu dengan trik-intrik yang memalukan, ndilalah Gereja pun melakukan hal yang sama. Lalu apa bedanya Politisi dengan Pendeta, dengan Gereja, atau Aktivis. Lalu bagaimana kita menciptakan keadilan, dalam jangkauan yang lebih luas lagi, di Masyarakat, dan hidup ini? Rasanya itu menjadi sekadar mimpi yang terlalu jauh.
Satu-dua Gereja mungkin masih ada yang setia memikirkan hal seperti itu, sehingga mereka selalu rindu menjadi saluran berkat, bukan tumpukan berkat. Mereka rindu membagi-bagikan apa yang ada, bukan mengumpulkan bagi diri mereka sendiri. Bagaimana menyalurkan berkat Allah ditengah-tengah kita, ini yang perlu kita pikirkan. Jadi bukan menumpuk, bukan membanggakan, atau membangun kemegahan Gereja, ini salah besar. Jangan memperkaya diri dengan cara-cara yang tidak rohani. Saudara kaya melimpah luar biasa, tapi di sekitar saudara miskinnya luar biasa. Ya.., itu sama-sama luar biasanya. Ini penting untuk direnungkan dalam kehidupan.
Setiap orang percaya tentu rindu Tuhan memberikan kerendahan hati kepadanya. Rendah hati bukan berarti nunduk-nunduk, rendah hati adalah mengatakan benar jika benar, dan salah jika salah, itu rendah hati. Katakan Ya untuk Ya dan Tidak untuk Tidak, jangan lebih dan jangan dikurangi. Orang yang rendah hati selalu sadar apa yang dikerjakannya selau bergantung pada Tuhan. Dan uniknya, orang yang rendah hati selalu mempunyai keberanian lebih dari orang pada umumnya.
Bapa-bapa Gereja, para Rasul, dan para Nabi menjadi teladan dalam kerendahhatian dan keberanian. Mereka mengalami kesulitan, mengalami penderitaan, tapi terus maju dengan gigih dan berani. Mengalami kesulitan dan penderiytaan tetapi tidak pernah lupa menegakkan keadilan. Bukan itu saja, Bapa-bapa Gereja, para Rasul, dan para nabi tidak pernah pusing dengan diri mereka. Sudah sewajarnya jika kita cemburu dan rindu menjadi dan melakukan seperti apa yang mereka lakukan. Karena itu mari Kita mulai belajar mengevaluasi dan bertindak. Reformasi sejati selalu memunculkan keberanian untuk bertindak dalam kehidupan. Reformasi selalu melahirkan kepekaan untuk menegakkan keadilan bagi sekitar kita. Reformasi juga menumbuh kembangkan di dalam hidup Kita pengharapan yang kuat, keberanian untuk memberitakan Injil, kepekaan menegakkan keadilan. Akhirnya reformasi akan membuat kita peka pada pimpinan Tuhan, dan cinta pada kebenaran, maka di sanalah pengharapan yang kuat itu dibangun.
0 komentar:
Posting Komentar